Pengertian
Pendidikan Karakter
Karakter
mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang
ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis,
kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung
jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah,
pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran
untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak
sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika,
dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan
potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya
(perasaannya).
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem
penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the
deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character
development”. Dalam
pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus
berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help
people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think
about the kind of character we want for our children, it is clear that we want
them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and
then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang
dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter
peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga
negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang
baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat
dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari
karakter
dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut)
yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan
karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai
karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam
dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan
cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan
punya integritas.
Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter
dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau
lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai
kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala
tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas
pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus
pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain
menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) ,
Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.